Selasa, 19 April 2016

Tahammulu'l Hadits & Ilmu Jarhi Wa't-Ta'dil

*    Tahammulu’l-Hadits (Penerimaan Riwayat (AL-HADITS)
1.      Periwayatan anak-anak, orang kafir dan orang fasiq
Para Muhadditsin memperselisihkan tentang sah atau tidaknya anak yang belum dewasa, orang yang masih dalam kekafiran, dan rawy yang masih dlaam keadaan fasiq, di saat ia menerima hadits dari Nabi s.a.w untuk meriwayatkan Hadits.
Jumhurul-muhadditsin berpendapat, bahwa seseorang yang menerima Hadits sewaktu masih kanak-kanak atau masih dalam keadaan kafir atau dalam keadaan fasiq dapat diterima periwayatanny, bila disampaikannya setelah masing-masing dewasa, memeluk agama Islam dan bertaubat.
Adapun alasan jumhur tentang anak yang belum dewasa, dapat dibenarkan menerima riwayat, ialah ijma’, yakni seluruh ummat Islam tidak ada yang membantah dsn tidsk ada yang membeda-bedakan riwayat-riwayat para sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa. Banyak para sahabat yang menerima hadits sewaktu beliau masih belum dewasa, seperti Al-Hasan, Al-Husein, Ibnu ‘Abbas, Nu’man bin Basyir dan lain sebagainya.

Tetapi mereka memperselisihkan batas minimal umur anak yang belum dewasa, yang dapat dibenarkan dalam penerimaan riwayat. Menurut pendapat Jumhur, batas umur minimalnya ialah 5 tahun. Sebab dari umur inilah anak-anak mulai menginjak tamyiz.
Imam Yhya bin Ma’in, menetapkannya dnegan tercapainya umur 15 tahun. Beliau mempertahankan pendapatnya dnegan mengemukakan alasan Hadits Ibnu ‘Umar r.a, ujarnya :
“Saya dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w pada waktu perang Uhud, di saat itru saya baru berumur 14 tahun, beliau tidak memperkenankan aku. Kemudian aku dihadapkan kepada Nabi s.a.w pada waktu perang. Khandaq, di sa’at itu saya berumur 15 tahun, beliau memperkenankan aku”. (Riwayat Jama’ah Ahli Hadits)
Kebanyakan para muhadditsin, tidak membatasinya dengan umur tertentu, tetapi dengan ketentuan tercapainya ke-tamyiz-an, (kepekaan, usia anak, dapat membedakan dua buah benda yang hampir bersamaan rupanya) yang menurut kebiasaan tamyiz ini tercapai bila telah lewat dari umur 5 tahun.
Dalil yang dkemukakan oleh Jumhur dalam menerima periwayatan orang yang masih dalam keadaan kafir ialah hadits Jubair bin Muth’in :
Bahwa ia mendengar Nabi Muhammad membaca surat At-Thur pada sembahyang maghrib”.
Jubair mendengar sabda Rasulullah s.a.w tersebut, ketika ia tiba di Madinah untuk penyelesaian urusan tawanan perang Badar, dalam keadaan masih kafir. Yang akhirnya ia memeluk agama Islam.
*      ILMU JARHI WA’T-TA’DIL
(Mencatat dan meng-‘adil-kan rawy)
a.       Ta’rif
Lafadh “jarh”, menurut muhadditsin, ialah sifat seorang rawy yang dapat mencatatkan dan kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawy berarti mensifati seorang rawy dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
Rawy yang dikatakan ‘adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperawiannya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawy, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut menta’dil-kannya.
Ilmu pengertahuan yang membahas tentang memberikan kritikan adanya ‘aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawy disebut dengan “Ilmu jarh watta’dil”.
Dr. ‘ajjaj Al-Khatib menta’rifkannya sebagai berikut :
“Ialah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawy dari segi diterima atau ditolak perawiannya”.
b.      Faidah IlmuJarh Wat-Ta’dil
Faidah mengetahui Ilmu Jarh Wat-Ta’dil itu islsh untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawy itu dapat diterima atau harus ditolah sama sekali. Apabila seorang rawy dijarh oleh para ahli sebagai rawy yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawy dipuji sebagai orang yang adail, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
c.       Macam-macam Ke’aiban Rawy
Ke’aiban seorang rawy itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam saja. Yakni :
1.      Bid’ah (melakukan tindakan tercela, di ;uar ketentuan syari’at),
2.      Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orangyang lebih tsiqah),
3.      Ghalath (banyak kekeliruan dalma meriwayatkan)
4.      Jahalatu’l-Hal (tidak dikenal identitasnya) dan
5.      Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung)
Orang yang disifati dengan bid’ah ada kalanyatergolong orang yang dikafirkan dan ada kalanya tergolong orang yang difasiqkan. Mereka yang dianggap kafir, ialah orang Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu)pada Sayyidina Ali, dan pada Imam-iman lain, dan mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali lagi di dunia sebelum hari kiyamat.
Sedang prang-orang yang dianggap fasiq, ialah golongan yang mempunyai i’tiqad berlawanan dengan syari’at.
            Mukhalafah yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu Hadits, ialah apabila seorang rawy yang setia ingatannyalagi jujur meriwayatkan sesuatu Hadits ebrlawanan dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama’kan periwayatan yang demikian ini disebut Syadz, dan kalau perlawanannya itu berkesangatan atau rawynya sangat lemah hafalanny, periwayatannya (haditsnya) disebut munkar.
Ghalat (salah) itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawy yang disifati banyak kesalahnannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai Hadits-hadits yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati dengan ghalath, maka hadits yang diriwayakan oleh orang yang banayk salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan (sanad)nya. Sedang apabila tidak didapati selain dengan jalan (sanad)nya, hendaklah ditawaqufkan.
Adapun seorang rawy yang disifati dengan sedikit keslahannya, seperti lemah hafalannya, atau salah sangka atau lain sebagainya, maka ditetapkan seperti keetentuan hukum sebelum ini, kecuali riwayat-riwayatmutabi’atyang terdapat dalam shahih Bukhary itu lebih banyak daripada riwayat yang terdapat pada mereka.
Jahalatu’l-hal (tidak diketahui identitasnya) merupakan pantangan untuk diterima haditsnya, selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya ( menafikannya.
Da’wa’l-inqitha’ (pendakwaan terputus) dalam sand, misalnya menda’wa rawy men-tad-lis-kan atau mengirsalkan suatu Hadits.
d.      Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawy dan masalah-masalahnya.
Keadilan seorang rawy dapat diketahui dengan salah satu dari ketetapan berikut :
Pertama, dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’iy, Ahmad dan lain sebagainya. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai seorang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawy yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawy yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagi rawy yang adil.
Penetapan ke’adilan seorang rawy dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
a.       Seorang rawy yang adil. Jadi tidak perlu dkaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (Hadits). Oleh karena itu jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawy. Demikian menurut pendapat kebanyakan Muhadditsin. Berlainan dengan pendapat fuqaha’ yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawy.
b.      Setiap orang yang dapat diterima periwyatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan da baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat meng’adilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawy juga dapat ditempuh melalui dua jalan.
a.       Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawy dalam ke’aibannya. Seorang rawy yang sudah di kenal sebagai orang yang fasiq atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b.      Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengertahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegangi oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha’ sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.
1.      Syarat-syarat bagi oarang yang men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan
1.      Berilmu pengetahuan
2.      Taqwa
3.      Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat).
4.      Jujur
5.      Menjauhi fanatik golongan dan
6.      Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan untuk men-tajrih-kan.
2.       Dapatkah pen-ta’dil-an dan pen-tajrih-an seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya
Sebagaimana kita ketahui, bahwa men-ta’dil-kan atau men-tajrih-kan seorang rawy itu adakalanya mubhan (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan adakalanya mufassar (disebutkan sebab-sebabnya). Bentuk mubham ini diperselisihkan oleh para ‘Ulama, dalam beberapa pendapat :
       I.            Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, diterima. Karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu menyibukkan kerja saja. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan oleh karena orang-orang itu berlain-lainan dalam mengemukakan sebab jarh, hingga tak mustahil seseorang men-tajrih menurut keyakinannya, tetapi tidak tepat dalam kenyataannya. Jadi agar jelas apakah ia tercatat atau tidak, perlu diterangkan sebab-sebabnya.
    II.            Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarahkan tidak perlu. Karena sebab-sebab men-ta’dil-kan itu bisa dibuat-buat hingga harus diterangkan, sedang men-tajrihkan tidak.
 III.            Untuk kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.
 IV.            Untuk kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarih dan mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut.
Pendapat yang partama adalah pendapat yang dianut oleh kebanyakan para muhadditsin, semisal Bukhary-Muslim, Abu Dawud, dan lain-lainnya.
3.      Jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawy-rawy
Dalam masalah ini juga diperselisihkan :
1.      Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya.
2.      Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh karena bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan Hadits, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan men-tajrih rawy-rawy. Berlalinan dalam soal syahadah.
3.      Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Adapun kalau ke-‘adalahannya (ke’adilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak memerlukan orang yang men-ta’dil-kan (muzakky = mu’addil). Seperti Malik, As-Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal. Al-Laits, Ibnu’l-Mubarak, Syu’bah, Is-haq dan lain-lainnya.
4.         Perlawanan antara jarh dan ta’dil
Apabila terdapatta’arudl antara jarh dan ta’dil pada seorang rawy, yakni sebagian ‘Ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ‘Ulama yang lain men-tajrih-kan dalam hal ini terdapat 4 pendapat :
1.      Jarah harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlahmu’addil-nya lebih banyak daripada jarhnya.sebab bagi jarih, tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil, dan kalau jarih dapat membernarkan mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’addil.
Pendapat ini dipegangi oleh jumhuru’l-‘Ulama.
2.      Ta’dil harus didahulukan daripada jarh.
Karena si-jarih dalam meng’aibkan si rawy kurang tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk meng’aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu’addil, sudah barang tentu tidak serampangan men-ta’dil-kan seseorang selama tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.
3.      Jika jumlah Mu’addilnya lebih banyak daripada jarihnya, didahulukan ta’dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan khabar-khabar mereka.
4.      Masih tetap dalam ke-ta’arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarih-nya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ‘ijma.
5.    Susunan lafadh-lafadh untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawy
Lafad-lafad yang digunakan untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawy-rawy itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s-Shalah dan Imam An-Nawawy, lafad-lafad itu  disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidh Ad-Dzahaby dan Al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yakni :
Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk menta’dilkan rawy-rawy.
Pertama : segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawy dalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af’alut-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya :
·         Orang yang paling tsiqah,
·         Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya,
·         Orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya,
·         Orang yang paling tsiqah melebihi orang yang tsiqah.
Kedua : memperkuat ketsiqahan rawy dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu salafadh (dengan mengulangnya) maupun semkna. Misalnya :
·         Orang yang teguh (lagi) teguh,
·         Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah,
·         Orang yang ahli (lagi) petah lidahnya,
·         Orang yang teguh (lagi) tsiqah,
·         Orang yang hafidh lagi petah lidahnya,
·         Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya.
Ketiga : menunjuk keadilan dengan satu lafadh yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya :
·         Orang yang teguh (hati dan lidahnya),
·         Orang yang meyakinkan (ilmunya),
·         Orang yang tsiqah,
·         Orang yang hafidh (kuat hafalannya),
·         Orang yang petah lidahnya.
Keempat : menunjuk keadilan dan kedlabitan, tetapi dnegan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil  (tsiqah). Misalnya :
·         Orang yang sangat jujur,
·         Orang yang dapat memegang amanat,
·         Orang yang tidak cacat.
Kelima : menunjuk kejujuran rawy, tetapi tidak terpaham adanya kedlabitan. Misalnya :
·         Orang yang berstatus jujur,
·         Orang yang baik haditsnya,
·         Orang yang bagus haditsnya,
·         Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits orang lain yang tsiqah.
Keenam : menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafadh “insya Allah”, atau lafadh tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengaharapan. Misalnya :
·         Orang yang jujur, insya Allah,
·         Orang yang diharapkan tsiqah,
·         Orang yang sedikit kesalehannya,
·         Orang yang diterima haditsnya.
Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawy-rawy yang dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits para rawy yang dita’dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawy lain.

Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk mentajrih rawy-rawy.
Pertama; menunjuk kepada keterlaluan si rawy tentang cacatnya dengan mengguankan lafadh-lafadh yang berbentuk af’alut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Mislanya :
·         Orang yang paling dusta,
·         Orang yang paling bohong,
·         Orang yang paling top kebohongannya.
Kedua : menunjuk kesangatan cacat dengan mengguanakan lafadh berbentuk shighat muballagah. Misalnya :
·         Orang yang pembohong,
·         Orang yang pendusta
·         Orang yang penipu.
Ketiga : menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainnya. Misalnya :
·         Orang yang dituduh bohong,
·         Orang yang dituduh dusta,
·         Orang yang perlu diteliti,
·         Orang yang gugur,
·         Orang yang haditsnya telah hilang,
·         Orang yang ditinggalkan haditsnya.
Keempat : menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya :
·         Orang yang dilempar haditsnya,
·         Orang yang lemah,
·         Orang yang ditolak haditsnya.
kelima : menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawy mengenai hafalannya. Misalnya :
·         Orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditskan,
·         Orang yang tidak dikenal identitasnya,
·         Orang yang munkar haditsnya,
·         Orang yang kacau haditsnya,
·         Orang yang banyak duga-duga,
Keenam : mensifati rawy dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itui berdekatan  dengan ‘adil. Misalnya :
·         Orang yang dila’ifkan haditsnya,
·         Orang yang diperbincan,
·         Orang yang disingkiri,
·         Ornag yang lunak,
·         Orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya,
·         Orang yang tidak kuat.
Orang-orang yang ditajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditajrih menurut tingkatan ke lima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar (tempat membanding)
Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta’dil ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. Sebab sudah disepakati oleh kebanyakan para Muhadditsin bahwa para sahabat itu seluruhnya dipandang ‘adil, kerena itu semua periwayatanya dapat diterima.
Dengan demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wa-ta’dil ini ialah rawy-rawy selaiin sahabat.
v  Untuk diperhatikan
Apabila kita temui sebagian ahli jarh dan ta’dil en-jarh-kan seorang rawy, maka kita tidak perlu segera menerima pen-jarihan tersebut, tetapi hendaklah diselidiki lebih dulu. Jika pen-tajrih-an itu membawa kegoncangan yang hebat, kendatipun yang men-tajrih-kan tersebut orang-orang atau ‘Ulama-ulama yang masyhur sekalipun, tidak boleh terus kita terima pen-tajrih-annya. Sebab kadang-kadang, sebab-sebab yang digunakan untuk men-jarh-kannya, setelah kita adakan penelitian dapat dipakai untuk menolak pen-jarh-annya.
Hal itu disebabkan adanya kemungkinan-kemungkinan antara lain, ialah si jarih sendiri termasuk orang yang di –tajrih-kan oleh orang lain, hingga pen-tajrihannya dan pen-ta’dilannya tidak harus kita terima selama orang-orang lain tidak menyetujuinya. Kemungkinan yang lain bisa terjadi, bahwa si jarih termasuk orang yang berkesangatan dalam men-tajrih-kan seseorang. Sedang menurut pen-tajrih-an yang dilakukan oleh kebanyakan ahli dan ta’dil, lebih ringan.
Para ‘Ulama jumhur mengemukakan daftar nama-nama Muhadditsin yang terkenal dan menjemukan bila mentajrih seorang rawy. Mereka itu ialah : Abu Hatim, An-Nasa’iy, Yahya bin Ma’in, Yahya bin Khaththandan Ibnu Hibban.
c.       Kitab-kitab Ilmu Jarh wat-Ta’dil
Para penulis kitab-kitab jarh wat-Ta’dil berbeda-beda dalam menyusun buku-bukunya. Sebagian ada yang kecil, hanya terdiri satu jilid, dan hanya mencakup beberapa ratus ornag rawy. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar-besar yang mencakup antara sepuluh sampai duapuluh ribu rijalus-sanad.
Di samping itu mereka juga berbeda-beda dalam mensistimatiskan pembahasannya. Ada sebagian ynag hanya menulis tentang rawy-rawy yang dla’if dan bohong saja, ada yang menulis rawy-rawy yang tsiqah saja dan adapula yang mengumpulkan kedua-duanya. Kitab-kitab itu antara lain :
1.      Ma’rifatu’r-rijal. Karya Yahya Ibni Ma’in. Kitab ini termasuk kitab yang petama sampai pada kita, juz pertama kitab tersebut, yang masih berupa manuschrift (tulisan tangan) berada di Da-rul-kutub Adh-Dhahiriyah..
2.      Ad-Dlu’afa’. Karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhary (194-252 H). Kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
3.      At-Tsiqat , karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang rawy. Karena itu hendaklah hati-hati terhadap penta’dilannya. Naskah aslinya diketemukan di Darul-Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.
4.      Al-Jarhu wat-T’dil. Karya ‘Abdur Rhman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H). Ini merupakan kitab Jarh wat-Ta’dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faidahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 18050 orang rawy. Pada tahun 1373 H. Kitab itu dicetak di India menjadi 9 jilid. Satu jilid sebagai muqaddimah, sedang tiap-tiap jilid yang asli dijadikan dua jilid.
5.      Mizanu’l-l’tidal, karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673-748 H). Kitab itu terdiri dari 3 jilid. Setiap rawy biarpun rawy tsiqah diterangkan dan dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib.kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan cetakan yang terakhi dicetak di Mesir pada tahun 1325 H. Dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang riyalus-sanad.
6.      Lisamul’l-Mizan, karya Al-Hafidh Ibnu HajarAl-‘Asqalany (773-825 H) sudah mencakup isi kitab Mi’zanu’l-I’tidaldengan beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. Ia dicetak di India pada tahun 1329-1331 H.Dalam 6 jilid.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar