Jumat, 20 Mei 2016

Kaidah Fiqih Muamalah

A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Fiqh Muamalah
Di bidang ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam, aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits lebih rinci dibandingkan dengan fikih-fikih lainnya. Akibatnya dibidang fikih selain ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan materi-materi fikih sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak.
Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk bidang selain ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam hanya menentukkan garis-garis besarnya saja yang tercermin dalam dalil-dalil kulli (bersifat umum), maqashid al-syari’ah (tujuan hukum), semangat ajaran kaidah-kaidah kulliyah. Hal ini tampaknya erat kaitannya dengan fungsi manusia yang selan sebagai hamba Allah juga sebagai khalifah fi al-ardh.

Sebagai hamba Allah, manusia harus diberi tuntutan langsung agar hidupnya tidak menyimpang dan selalu diingatkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya (QS. Adz-Dzaariyaat : 56). Sebagai khalifah fi al-ardh manusia ditugasi untuk mr=emakmurkan kehidupan ini (QS. Huud : 61)
Kedua fungsi ini sebagai amanah dari Allah (QS. Al-Ahzab :72) harus ditunaikan dalam kehidupannya di dunia agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat (QS. Al-Baqarah : 201), yang tjuan akhirnya meraih keridhaan Allah SWT (QS. Al-Baqarah : 207 dan 265; an-Nsaa’ : 144; al-Lail : 20; dan al-Fajr : 28)
Dalam kerangka itulah manusia diberi kebebasan berusaha di muka bumi ini.untuk memakmurkan kehidupan  dunia ini, manusia sebagai khalifah fi al-ardh harus kreatif, inovatif, kerja keras, dan berjuang. Bukan berjuang untuk hidup, tetapi hidup ini adalah perjuangan untuk melaksanakan amanat Allah tersebut di atas, yang pada hakikatnya untuk kemaslahatan umat itu juga.
Banyak sekali usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa. Dalam transaksi saja para ulama menyebut tidak kurang dari 25 macam. Sudah barng tentu sekarang denga perkembangan ilmu dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang makin meningkat, melahirkan model-model transaksi baru yang membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang di satu sisi tetap Islami dan di sisi lain mampu menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata. Sudah tentu caranya adalah dengan mwngguanakan kaidah-kaidah.
Kaidah-kaidah fikih di bidang muamalah mulai dari kaidah asasi dan cabangnya, kaidah umum dan kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-ulama Turki zaman kekhalifahan Turki Utsmani tidak kurang dari 99 kaidah, yang termuat dalam majalah al-ahkam al-adliyah. Kesembilan puluh sembilan kaidah tadi menjadi acuan dan menjadi jiwa dari 1851 pasal tentang transaksi yang tercantum dalam majalah al-ahkam al-adliyah.
B.     Kaidah-Kaidah Fiqh Tentang Muamalah
Berikut ini akan disampaikan beberapa kaidah fikih yang khusus di bidang muamalah. Di antara kaidah khusus di bidang muamalah ini adalah :
1.      لأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ  دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud kaidah ini bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabahatau musyarakah), perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi dan riba.
Ibnu Taimiyah menggunakan ungkapan lain :
“Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah SWT”.
2.      الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan, kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Keridhaan dalam melakukan transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya tidak sah suatu akad apabila suatu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi padaa waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.

Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”
3.      لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ
“Tidak seorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta”.
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.
4.      لبَا طِلُ لاَ يَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena diblehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, Bank Syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lainnya yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan  oleh pihak lain, karena sistem bunga telah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan lain itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sitem bunga.

5.      الإِجَازَةُ اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu”.
Seperti telah dikemukakan kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
6.      الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لاَ يَجْتَمِعَانِ
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhanan atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran (Majalah Ahkam al-Adliyah Pasal 416)
Contoh, seorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya. (Majalah Ahkam al-adliyah Pasal 550)
7.      الجَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, pengguanaan binatang tadi sudah menajadi hak pembeli.
8.      لغَرْمُ بِالغَنْمِ
“Risiko itu menyertai manfaat”
Maksudnya adalh bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang dan risiko ongkos-ongkos pengembaliaannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan pemeliharaan barang, dibebankan kepada pemilik barang.
9.      إِذَا بَطَلَ الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hal pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.
10.  العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
11.  كُلُّ مَايَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ تَوْقِيْتُه
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga. barang. Di pihak lain yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
12.  الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalh batal”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal. Kaidah ini juga bisa masuk dalam kaidah fiqih siyasah, apabila dilihat dari sisi kewenangan memerintah dari atasan kepada bawahannya.
13.  لاَيَتِمُّ التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dnegan penyerahan barang”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.
14.  الجَوَازُ الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ 

“Suatu hal yang dibolehkan oleh  syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”
            Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.[12]
15.
لاَيُنْزَعُ شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ

“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap.”
16.   
كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ

“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
            Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
17.   
كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ

“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan.”
            Contonya seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
18.   
كُلُّ مَاصَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ

“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
19. 
مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ

“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
            Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.
20.   
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adlah sama dengan riba.”

11 komentar:

  1. sangat bermanfaat informasinya...

    https://bahasandroid.com/gambar-kata-bulan-ramadhan-gokil/

    BalasHapus
  2. sangat bermanfaat, terimakasih.

    BalasHapus
  3. terimakasih informasinya. semoga ilmu yang dibagikan ini bermanfaat untuk semua...

    BalasHapus
  4. Sangat bermanfaat, terimakasihh

    BalasHapus
  5. Alhamdulillah, semoga admin selalu berkah, manfaat, namabah terus Ilmunya...

    BalasHapus