Tahammulu’l-Hadits
(Penerimaan Riwayat (AL-HADITS)
1. Periwayatan
anak-anak, orang kafir dan orang fasiq
Para
Muhadditsin memperselisihkan tentang sah atau tidaknya anak yang belum dewasa,
orang yang masih dalam kekafiran, dan rawy yang masih dlaam keadaan fasiq, di
saat ia menerima hadits dari Nabi s.a.w untuk meriwayatkan Hadits.
Jumhurul-muhadditsin
berpendapat, bahwa seseorang yang menerima Hadits sewaktu masih kanak-kanak
atau masih dalam keadaan kafir atau dalam keadaan fasiq dapat diterima
periwayatanny, bila disampaikannya setelah masing-masing dewasa, memeluk agama
Islam dan bertaubat.
Adapun
alasan jumhur tentang anak yang belum dewasa, dapat dibenarkan menerima
riwayat, ialah ijma’, yakni seluruh ummat Islam tidak ada yang membantah dsn
tidsk ada yang membeda-bedakan riwayat-riwayat para sahabat yang diterima
sebelum dan sesudah dewasa. Banyak para sahabat yang menerima hadits sewaktu
beliau masih belum dewasa, seperti Al-Hasan, Al-Husein, Ibnu ‘Abbas, Nu’man bin
Basyir dan lain sebagainya.
Tetapi
mereka memperselisihkan batas minimal umur anak yang belum dewasa, yang dapat
dibenarkan dalam penerimaan riwayat. Menurut pendapat Jumhur, batas umur
minimalnya ialah 5 tahun. Sebab dari umur inilah anak-anak mulai menginjak
tamyiz.
Imam
Yhya bin Ma’in, menetapkannya dnegan tercapainya umur 15 tahun. Beliau
mempertahankan pendapatnya dnegan mengemukakan alasan Hadits Ibnu ‘Umar r.a,
ujarnya :
“Saya
dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w pada waktu perang Uhud, di saat itru saya
baru berumur 14 tahun, beliau tidak memperkenankan aku. Kemudian aku dihadapkan
kepada Nabi s.a.w pada waktu perang. Khandaq, di sa’at itu saya berumur 15
tahun, beliau memperkenankan aku”. (Riwayat Jama’ah Ahli Hadits)
Kebanyakan
para muhadditsin, tidak membatasinya dengan umur tertentu, tetapi dengan
ketentuan tercapainya ke-tamyiz-an, (kepekaan, usia anak, dapat membedakan dua
buah benda yang hampir bersamaan rupanya) yang menurut kebiasaan tamyiz ini
tercapai bila telah lewat dari umur 5 tahun.
Dalil
yang dkemukakan oleh Jumhur dalam menerima periwayatan orang yang masih dalam
keadaan kafir ialah hadits Jubair bin Muth’in :
Bahwa
ia mendengar Nabi Muhammad membaca surat At-Thur pada sembahyang maghrib”.
Jubair
mendengar sabda Rasulullah s.a.w tersebut, ketika ia tiba di Madinah untuk
penyelesaian urusan tawanan perang Badar, dalam keadaan masih kafir. Yang
akhirnya ia memeluk agama Islam.
ILMU JARHI WA’T-TA’DIL
(Mencatat
dan meng-‘adil-kan rawy)
a. Ta’rif
Lafadh “jarh”,
menurut muhadditsin, ialah sifat seorang rawy yang dapat mencatatkan dan
kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawy berarti mensifati seorang
rawy dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang
diriwayatkannya.
Rawy
yang dikatakan ‘adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang
dapat menodai agama dan keperawiannya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji
kepada seorang rawy, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut
menta’dil-kannya.
Ilmu
pengertahuan yang membahas tentang memberikan kritikan adanya ‘aib atau
memberikan pujian adil kepada seorang rawy disebut dengan “Ilmu jarh watta’dil”.
Dr.
‘ajjaj Al-Khatib menta’rifkannya sebagai berikut :
“Ialah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawy dari segi diterima atau ditolak perawiannya”.
“Ialah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawy dari segi diterima atau ditolak perawiannya”.
b. Faidah
IlmuJarh Wat-Ta’dil
Faidah
mengetahui Ilmu Jarh Wat-Ta’dil itu islsh untuk menetapkan apakah periwayatan
seorang rawy itu dapat diterima atau harus ditolah sama sekali. Apabila seorang
rawy dijarh oleh para ahli sebagai rawy yang cacat, maka periwayatannya harus
ditolak dan apabila seorang rawy dipuji sebagai orang yang adail, niscaya
periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits
dipenuhi.
c. Macam-macam
Ke’aiban Rawy
Ke’aiban
seorang rawy itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam
saja. Yakni :
1. Bid’ah
(melakukan tindakan tercela, di ;uar ketentuan syari’at),
2. Mukhalafah
(melaini dengan periwayatan orangyang lebih tsiqah),
3. Ghalath
(banyak kekeliruan dalma meriwayatkan)
4. Jahalatu’l-Hal
(tidak dikenal identitasnya) dan
5. Da’wa’l-inqitha’
(diduga keras sanadnya tidak bersambung)
Orang
yang disifati dengan bid’ah ada
kalanyatergolong orang yang dikafirkan dan ada kalanya tergolong orang yang
difasiqkan. Mereka yang dianggap kafir, ialah orang Rafidlah, yang mempercayai
bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu)pada Sayyidina Ali, dan pada Imam-iman lain,
dan mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali lagi di dunia sebelum hari kiyamat.
Sedang
prang-orang yang dianggap fasiq, ialah golongan yang mempunyai i’tiqad
berlawanan dengan syari’at.
Mukhalafah
yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu Hadits, ialah apabila
seorang rawy yang setia ingatannyalagi jujur meriwayatkan sesuatu Hadits
ebrlawanan dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan
dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama’kan
periwayatan yang demikian ini disebut Syadz, dan kalau perlawanannya itu
berkesangatan atau rawynya sangat lemah hafalanny, periwayatannya (haditsnya)
disebut munkar.
Ghalat
(salah) itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawy yang
disifati banyak kesalahnannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai
Hadits-hadits yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut
terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati dengan ghalath, maka
hadits yang diriwayakan oleh orang yang banayk salah tersebut dapat dipakai,
tetapi bukan menurut jalan (sanad)nya. Sedang apabila tidak didapati selain
dengan jalan (sanad)nya, hendaklah ditawaqufkan.
Adapun
seorang rawy yang disifati dengan sedikit keslahannya, seperti lemah
hafalannya, atau salah sangka atau lain sebagainya, maka ditetapkan seperti
keetentuan hukum sebelum ini, kecuali riwayat-riwayatmutabi’atyang terdapat
dalam shahih Bukhary itu lebih banyak daripada riwayat yang terdapat pada
mereka.
Jahalatu’l-hal
(tidak diketahui identitasnya) merupakan pantangan untuk diterima haditsnya,
selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah mengenal
identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkarinya, dalam hal ini
didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu
daripada orang yang mengingkarinya ( menafikannya.
Da’wa’l-inqitha’
(pendakwaan terputus) dalam sand, misalnya menda’wa rawy men-tad-lis-kan atau
mengirsalkan suatu Hadits.
d. Jalan-jalan
untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawy dan masalah-masalahnya.
Keadilan
seorang rawy dapat diketahui dengan salah satu dari ketetapan berikut :
Pertama,
dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai
orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di
kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah bin
Al-Hajjaj, Asy-Syafi’iy, Ahmad dan lain sebagainya. Oleh karena mereka sudah
terkenal sebagai seorang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka
tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
Kedua,
dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawy
yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawy yang dita’dilkan itu belum
dikenal sebagi rawy yang adil.
Penetapan
ke’adilan seorang rawy dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
a. Seorang
rawy yang adil. Jadi tidak perlu dkaitkan dengan banyaknya orang yang
menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat
(Hadits). Oleh karena itu jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk
menta’dilkan seorang rawy. Demikian menurut pendapat kebanyakan Muhadditsin.
Berlainan dengan pendapat fuqaha’ yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua
orang dalam mentazkiyahkan seorang rawy.
b. Setiap
orang yang dapat diterima periwyatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan da
baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang
dapat meng’adilkannya.
Penetapan
tentang kecacatan seorang rawy juga dapat ditempuh melalui dua jalan.
a. Berdasarkan
berita tentang ketenaran seorang rawy dalam ke’aibannya. Seorang rawy yang
sudah di kenal sebagai orang yang fasiq atau pendusta di kalangan masyarakat,
tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk
menetapkan kecacatannya.
b. Berdasarkan
pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengertahui sebab-sebabnya dia
cacat. Demikian ketetapan yang dipegangi oleh para Muhadditsin. Sedang menurut
para fuqaha’ sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang
adil.
1.
Syarat-syarat
bagi oarang yang men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan
1. Berilmu
pengetahuan
2. Taqwa
3. Wara’
(orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa
kecil, dan makruhat-makruhat).
4. Jujur
5. Menjauhi
fanatik golongan dan
6. Mengetahui
sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan untuk men-tajrih-kan.
2.
Dapatkah pen-ta’dil-an dan pen-tajrih-an
seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya
Sebagaimana
kita ketahui, bahwa men-ta’dil-kan atau men-tajrih-kan seorang rawy itu
adakalanya mubhan (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan adakalanya mufassar
(disebutkan sebab-sebabnya). Bentuk mubham ini diperselisihkan oleh para
‘Ulama, dalam beberapa pendapat :
I.
Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan
sebab-sebabnya, diterima. Karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal
itu kalau disebutkan semua tentu menyibukkan kerja saja. Adapun men-tajrih-kan,
tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat
berhasil dengan satu sebab saja. Dan oleh karena orang-orang itu berlain-lainan
dalam mengemukakan sebab jarh, hingga tak mustahil seseorang men-tajrih menurut
keyakinannya, tetapi tidak tepat dalam kenyataannya. Jadi agar jelas apakah ia
tercatat atau tidak, perlu diterangkan sebab-sebabnya.
II.
Untuk ta’dil, harus disebutkan
sebab-sebabnya, tetapi menjarahkan tidak perlu. Karena sebab-sebab
men-ta’dil-kan itu bisa dibuat-buat hingga harus diterangkan, sedang
men-tajrihkan tidak.
III.
Untuk kedua-duanya harus disebutkan
sebab-sebabnya.
IV.
Untuk kedua-duanya, tidak perlu
disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarih dan mu’addil sudah mengenal
seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut.
Pendapat
yang partama adalah pendapat yang dianut oleh kebanyakan para muhadditsin,
semisal Bukhary-Muslim, Abu Dawud, dan lain-lainnya.
3.
Jumlah
orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawy-rawy
Dalam
masalah ini juga diperselisihkan :
1. Minimal
dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikianlah
pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya.
2. Cukup
seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh karena
bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan Hadits, maka tidak pula
disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan men-tajrih rawy-rawy. Berlalinan dalam
soal syahadah.
3. Cukup
seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Adapun
kalau ke-‘adalahannya (ke’adilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang
banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak memerlukan orang yang
men-ta’dil-kan (muzakky = mu’addil). Seperti Malik, As-Syafi’iy, Ahmad bin
Hanbal. Al-Laits, Ibnu’l-Mubarak, Syu’bah, Is-haq dan lain-lainnya.
4.
Perlawanan
antara jarh dan ta’dil
Apabila
terdapatta’arudl antara jarh dan ta’dil pada seorang rawy, yakni sebagian
‘Ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ‘Ulama yang lain men-tajrih-kan dalam hal
ini terdapat 4 pendapat :
1. Jarah harus didahulukan secara
mutlak, walaupun jumlahmu’addil-nya lebih banyak daripada
jarhnya.sebab bagi jarih, tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui
oleh mu’addil, dan kalau jarih dapat membernarkan mu’addil tentang apa yang
diberitakan menurut lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah
yang tidak diketahui oleh si mu’addil.
Pendapat
ini dipegangi oleh jumhuru’l-‘Ulama.
2.
Ta’dil
harus didahulukan daripada jarh.
Karena
si-jarih dalam meng’aibkan si rawy kurang tepat, dikarenakan sebab yang
digunakan untuk meng’aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang
sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu’addil, sudah barang
tentu tidak serampangan men-ta’dil-kan seseorang selama tidak mempunyai alasan
yang tepat dan logis.
3.
Jika
jumlah Mu’addilnya lebih banyak daripada jarihnya, didahulukan
ta’dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan
mengharuskan untuk mengamalkan khabar-khabar mereka.
4.
Masih
tetap dalam ke-ta’arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya.
Pengarang
at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah
mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan
jarih-nya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ‘ijma.
5.
Susunan
lafadh-lafadh untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawy
Lafad-lafad
yang digunakan untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawy-rawy itu
bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s-Shalah dan Imam An-Nawawy,
lafad-lafad itu disusun menjadi 4
tingkatan, menurut Al-Hafidh Ad-Dzahaby dan Al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan dan
Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yakni :
Tingkatan
dan lafadh-lafadh untuk menta’dilkan rawy-rawy.
Pertama
: segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawy dalam keadilan dengan
menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af’alut-tafdil atau ungkapan lain yang
mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya :
·
Orang yang paling tsiqah,
·
Orang yang paling mantap hafalan dan
keadilannya,
·
Orang yang paling top keteguhan hati dan
lidahnya,
·
Orang yang paling tsiqah melebihi orang
yang tsiqah.
Kedua
: memperkuat ketsiqahan rawy dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang
menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu salafadh
(dengan mengulangnya) maupun semkna. Misalnya :
·
Orang yang teguh (lagi) teguh,
·
Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah,
·
Orang yang ahli (lagi) petah lidahnya,
·
Orang yang teguh (lagi) tsiqah,
·
Orang yang hafidh lagi petah lidahnya,
·
Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan
ilmunya.
Ketiga
: menunjuk keadilan dengan satu lafadh yang mengandung arti kuat ingatan.
Misalnya :
·
Orang yang teguh (hati dan lidahnya),
·
Orang yang meyakinkan (ilmunya),
·
Orang yang tsiqah,
·
Orang yang hafidh (kuat hafalannya),
·
Orang yang petah lidahnya.
Keempat
: menunjuk keadilan dan kedlabitan, tetapi dnegan lafadh yang tidak mengandung
arti kuat ingatan dan adil (tsiqah).
Misalnya :
·
Orang yang sangat jujur,
·
Orang yang dapat memegang amanat,
·
Orang yang tidak cacat.
Kelima
: menunjuk kejujuran rawy, tetapi tidak terpaham adanya kedlabitan. Misalnya :
·
Orang yang berstatus jujur,
·
Orang yang baik haditsnya,
·
Orang yang bagus haditsnya,
·
Orang yang haditsnya berdekatan dengan
hadits orang lain yang tsiqah.
Keenam
: menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang
diikuti dengan lafadh “insya Allah”, atau lafadh tersebut di-tashgir-kan
(pengecilan arti), atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengaharapan.
Misalnya :
·
Orang yang jujur, insya Allah,
·
Orang yang diharapkan tsiqah,
·
Orang yang sedikit kesalehannya,
·
Orang yang diterima haditsnya.
Para
ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawy-rawy yang
dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah.
Sedang hadits-hadits para rawy yang dita’dilkan menurut tingkatan kelima dan
keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh
hadits perawy lain.
Tingkatan
dan lafadh-lafadh untuk mentajrih rawy-rawy.
Pertama;
menunjuk kepada keterlaluan si rawy tentang cacatnya dengan mengguankan
lafadh-lafadh yang berbentuk af’alut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung
pengertian yang sejenisnya dengan itu. Mislanya :
·
Orang yang paling dusta,
·
Orang yang paling bohong,
·
Orang yang paling top kebohongannya.
Kedua
: menunjuk kesangatan cacat dengan mengguanakan lafadh berbentuk shighat
muballagah. Misalnya :
·
Orang yang pembohong,
·
Orang yang pendusta
·
Orang yang penipu.
Ketiga
: menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainnya. Misalnya :
·
Orang yang dituduh bohong,
·
Orang yang dituduh dusta,
·
Orang yang perlu diteliti,
·
Orang yang gugur,
·
Orang yang haditsnya telah hilang,
·
Orang yang ditinggalkan haditsnya.
Keempat
: menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya :
·
Orang yang dilempar haditsnya,
·
Orang yang lemah,
·
Orang yang ditolak haditsnya.
kelima
: menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawy mengenai hafalannya. Misalnya :
·
Orang yang tidak dapat dibuat hujjah
haditskan,
·
Orang yang tidak dikenal identitasnya,
·
Orang yang munkar haditsnya,
·
Orang yang kacau haditsnya,
·
Orang yang banyak duga-duga,
Keenam
: mensifati rawy dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat
itui berdekatan dengan ‘adil. Misalnya :
·
Orang yang dila’ifkan haditsnya,
·
Orang yang diperbincan,
·
Orang yang disingkiri,
·
Ornag yang lunak,
·
Orang yang tidak dapat digunakan hujjah
haditsnya,
·
Orang yang tidak kuat.
Orang-orang
yang ditajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditajrih menurut
tingkatan ke lima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’tibar
(tempat membanding)
Perlu
diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta’dil ini bahwa para
sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. Sebab sudah
disepakati oleh kebanyakan para Muhadditsin bahwa para sahabat itu seluruhnya
dipandang ‘adil, kerena itu semua periwayatanya dapat diterima.
Dengan
demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wa-ta’dil ini ialah rawy-rawy selaiin
sahabat.
v Untuk
diperhatikan
Apabila
kita temui sebagian ahli jarh dan ta’dil en-jarh-kan seorang rawy, maka kita
tidak perlu segera menerima pen-jarihan tersebut, tetapi hendaklah diselidiki
lebih dulu. Jika pen-tajrih-an itu membawa kegoncangan yang hebat, kendatipun
yang men-tajrih-kan tersebut orang-orang atau ‘Ulama-ulama yang masyhur
sekalipun, tidak boleh terus kita terima pen-tajrih-annya. Sebab kadang-kadang,
sebab-sebab yang digunakan untuk men-jarh-kannya, setelah kita adakan
penelitian dapat dipakai untuk menolak pen-jarh-annya.
Hal
itu disebabkan adanya kemungkinan-kemungkinan antara lain, ialah si jarih
sendiri termasuk orang yang di –tajrih-kan oleh orang lain, hingga
pen-tajrihannya dan pen-ta’dilannya tidak harus kita terima selama orang-orang
lain tidak menyetujuinya. Kemungkinan yang lain bisa terjadi, bahwa si jarih
termasuk orang yang berkesangatan dalam men-tajrih-kan seseorang. Sedang
menurut pen-tajrih-an yang dilakukan oleh kebanyakan ahli dan ta’dil, lebih
ringan.
Para
‘Ulama jumhur mengemukakan daftar nama-nama Muhadditsin yang terkenal dan
menjemukan bila mentajrih seorang rawy. Mereka itu ialah : Abu Hatim,
An-Nasa’iy, Yahya bin Ma’in, Yahya bin Khaththandan Ibnu Hibban.
c. Kitab-kitab
Ilmu Jarh wat-Ta’dil
Para
penulis kitab-kitab jarh wat-Ta’dil berbeda-beda dalam menyusun buku-bukunya.
Sebagian ada yang kecil, hanya terdiri satu jilid, dan hanya mencakup beberapa
ratus ornag rawy. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid
besar-besar yang mencakup antara sepuluh sampai duapuluh ribu rijalus-sanad.
Di
samping itu mereka juga berbeda-beda dalam mensistimatiskan pembahasannya. Ada
sebagian ynag hanya menulis tentang rawy-rawy yang dla’if dan bohong saja, ada
yang menulis rawy-rawy yang tsiqah saja dan adapula yang mengumpulkan
kedua-duanya. Kitab-kitab itu antara lain :
1. Ma’rifatu’r-rijal.
Karya Yahya Ibni Ma’in. Kitab ini termasuk kitab yang petama sampai pada kita,
juz pertama kitab tersebut, yang masih berupa manuschrift (tulisan tangan)
berada di Da-rul-kutub Adh-Dhahiriyah..
2. Ad-Dlu’afa’.
Karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhary (194-252 H). Kitab tersebut dicetak
di Hindia pada tahun 320 H.
3. At-Tsiqat
, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang rawy. Karena itu
hendaklah hati-hati terhadap penta’dilannya. Naskah aslinya diketemukan di
Darul-Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.
4. Al-Jarhu
wat-T’dil. Karya ‘Abdur Rhman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H). Ini merupakan
kitab Jarh wat-Ta’dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat
besar faidahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 18050
orang rawy. Pada tahun 1373 H. Kitab itu dicetak di India menjadi 9 jilid. Satu
jilid sebagai muqaddimah, sedang tiap-tiap jilid yang asli dijadikan dua jilid.
5. Mizanu’l-l’tidal,
karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673-748 H). Kitab itu terdiri dari
3 jilid. Setiap rawy biarpun rawy tsiqah diterangkan dan dikemukakan haditsnya,
sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib.kitab yang sudah berulang
kali dicetak ini dan cetakan yang terakhi dicetak di Mesir pada tahun 1325 H.
Dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang riyalus-sanad.
6. Lisamul’l-Mizan,
karya Al-Hafidh Ibnu HajarAl-‘Asqalany (773-825 H) sudah mencakup isi kitab Mi’zanu’l-I’tidaldengan
beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. Ia
dicetak di India pada tahun 1329-1331 H.Dalam 6 jilid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar